Modul Seri 6: Etika Bisnis
Corporate
Social Responsibility ( CSR )
Disusun Oleh :
Amyardi, SH, SE, MM.
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER AKUNTANSI
- FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA 2010
I.
Pendahuluan
Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat ditandai dengan
terjadinya perobahan bidang teknologi, sehingga memunculkan berbagai perusahaan yang berskala produksi
besar dan menyerap banyak tenaga kerja. Bidang-bidang usaha yang tersedia juga
semakin banyak sehingga semakin membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Apalagi didukung dengan adanya kebijakan Otonomi Daerah, yang menyebabkan
daerah-daerah juga turut berlomba-lomba untuk memajukan dirinya dengan cara
memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk beroperasi di daerahnya.
Dengan adanya perobahan teknologi, khususnya dengan adanya
perobahan perobahan Otonomi Daerah di Indonesia membawa perubahan yang besar
dalam pertumbuhan perusahaan yang beroperasi Nasional maupun Internasional, dan
perusahaan tersebut menyadari bahwa dalam beropesai harus memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup. Dimana hal – hal yang berhubungan dengan
Lingkungan hidup telah didalam Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 28H ayat 1,
yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.”
Hak yang sama juga diatur di dalam Pasal 9 Undang-Undang No.
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut:
Ayat (2)
“Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai,
bahagia, sejahtera lahir dan batin.”
Ayat (3)
“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.”
Dari kedua aturan hukum tersebut dapat dilihat dengan
jelas, bahwa masyarakat memiliki hak akan kehidupan sosial yang baik dan atas
lingkungan hidup yang sehat. Selanjutnya, kewajiban untuk melakukan pelestarian
lingkungan hidup juga diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai berikut:
“Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam
rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Dari hal tersebut diatas, menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan
usahanya dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut
untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga
diminta untuk melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR).
Defenisi CSR.
1. The Word business Concilfor
Sustainable Development ( WBSD )
“ Contunuing commitment by business
to behave ethically and contribute to economic developmet while improving the
quqlity of life of the workforce and their families as well as of the local
community and society at large “
2. Work Bank.
“ The commitment of business to contribute to sustainable
economic development working with amployees and their representative the local
community and society at large to improve quqlity of life, in ways that are
both good for business and good for development“
Hal yang sama juga terjadi pada
aspek lingkungan hidup, yang menuntut perusahaan untuk lebih peduli pada
lingkungan hidup tempatnya beroperasi.
Sebagaimana hasil KTT Bumi (Earth
Summit) di Rio de Janerio, Brasil, pada tahun 1992, yang menegaskan
mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development)
sebagai suatu hal yang bukan hanya menjadi kewajiban negara, namun juga harus
diperhatikan oleh kalangan korporasi. Konsep pembangunan berkelanjutan menuntut
korporasi, dalam menjalankan usahanya, untuk turut memperhatikan aspek-aspek
sebagai berikut:
1. Ketersediaan dana;
2. Misi lingkungan;
3. Tanggung jawab sosial;
4. Terimplementasi dalam kebijakan
(masyarakat, korporat, dan pemerintah);
5. Mempunyai nilai
keuntungan/manfaat).
Kemudian, di dalam Pertemuan Yohannesburg pada tahun 2002,
memunculkan suatu prinsip baru di dalam dunia usaha, yaitu konsep Social
Responsibility
Berawal dari munculnya suatu konsep
dalam bidang korporasi untuk memperhatikan aspek lingkungan dan sosialnya, maka
dalam memo ini akan dibahas mengenai penerapan prinsip tanggung jawab sosial
dan lingkungan oleh perusahaan, termasuk dengan regulasinya.
II. Dasar Hukum
1. ISO 2006: Guidance Standard on Social
Responsibility;
2. Undang-Undang Dasar 1945;
3. Undang-Undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang No. 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
5. UU RI No. 19 Tahun 2003 Tentang
Badan Usaha Milik Negara;
6. Undang-Undang No. 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
7. Undang-Undang No. 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal;
III. Pembahasan
Substansi keberadaan Prinsip
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan bagi Perusahaan (Corporate Social
Responsibility; selanjutnya disebut CSR), adalah dalam rangka memperkuat
kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan
stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasioal, maupun global. Di
dalam pengimplementasiaannya, diharapakan agar unsur-unsur perusahaan,
pemerintah dan masyarakat saling berinteraksi dan mendukung, supaya CSR dapat
diwujudkan secara komprehensif, sehingga dalam pengambilan keputusan,
menjalankan keputusan, dan pertanggungjawabannya dapat dilaksanakan bersama.
Pada bulan September tahun 2004, International
Organization for Standardization atau ISO), sebagai induk organisasis
standardisasi internasional berhasil menghasilkan panduan dan standardisasi
untuk tanggung jawab sosial, yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard
on Social Responsibility. ISO 26000 menjadi standar pedoman untuk penerapan
CSR. ISO 26000 mengartikan CSR sebagai tanggung jawab suatu organisasi yang
atas dampak dari keputusan dan aktivitanya terhadap masyarakat dan lingkungan,
melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
1. Konsisten dengan pembangunan
berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
2. Memperhatikan kepentingan dari
para stakeholder
3. Sesuai hukum yang berlaku dan
konsisten dengan norma-norma internasional
4. Terintegrasi di seluruh aktivitas
organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.
Di dalam ISO 2006, CSR mencakup 7 (tujuh) isu pokok,
yaitu:
1. Pengembangan masyarakat;
2. Konsumen;
3. Praktek kegiatan institusi yang
sehat;
4. Lingkungan;
5. Ketenagakerjaan;
6. Hak Asasi Manusia;
7. Organizational Governance
(Organisasi Kepemerintahan).
Berdasarkan konsep ISO 26000, maka untuk penerapan CSR
hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas perusahaan yang mencakup 7 (tujuh)
isu pokok di atas. Prinsip-prinsip dasar CSR yang menjadi dasar pelaksanaan
yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan CSR
menurut Iso 26000 meliputi:
1. Kepatuhan kepada hukum;
2. Menghormati instrumen/badan-badan
internasional;
3. Menghormati stakeholders dan
kepentingannya;
4. Akuntabilitas;
5. Transparansi;
6. Perilaku yang beretika;
7. Melakukan tindakan pencegahan;
8. Menghormati dasar-dasar hak asasi
manusia.
Di Indonesia sendiri, munculnya
Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menandai
babak baru pengaturan CSR. Selain itu, pengaturan tentang CSR juga tercantum di
dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Walaupun
sebenarnya pembahasan mengenai CSR sudah dimulai jauh sebelum kedua
undang-undang tersebut disahkan. Salah satu pendorong perkembangan CSR yang
terjadi di Indonesia adalah pergeseran paradigma dunia usaha yang tidak hanya
semata-mata untuk mencari keuntungan saja, melainkan juga bersikap etis dan
berperan dalam penciptaan investasi sosial.
Adapun pengaturan CSR di dalam UU PT
adalah sebagai berikut:
Pasal
74:
1. Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan
yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melakukan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Sedangkan pengaturan di dalam UU PM, yaitu di dalam Pasal 15
huruf b adalah sebagai berikut:
“Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan.”
Kemudian di dalam Pasal 16 huruf d UU PM disebutkan
sebagai berikut:
“Setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga
kelestarian lingkungan hidup.”
Namun
demikian, pengaturan CSR di dalam peraturan perundangan-undangan Indonesia
tersebut masih menciptakan kontroversi dan kritikan. Kalangan pebisnis CSR dipandang
sebagai suatu kegiatan sukarela, sehingga tidak diperlukan pengaturan di dalam
peraturan perundang-undangan. Menurut Ketua Umum Kadin, Mohammad S. Hidayat,
CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan
dalam perundang-undangan formal, sehingga jika diatur akan bertentangan dengan
prinsip kerelaan dan akan memberikan beban baru kepada dunia usaha.
Di lain pihak, Ketua Panitia Khusus
UU PT, Akil Mochtar menjelaskan bahwa kewajiban CSR terpaksa dilakukan karena
banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia lepas dari
tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. Selain itu kewajiban CSR sudah
diterapakan pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang mewajibkan
BUMN untuk memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan
fisik. Kewajiban ini diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
terkait dengang BUMN.
Pada kenyataannya, memang dapat kita
lihat berbagai kasus pencemaran atau kerusakaan lingkungan yang diakibatkan karena
aktivitas perusahaan kurang bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian
lingkungan sekitarnya dan konflik antara perusahaan dengan masyrakat di
sekitarnya, karena kurang memperhatikan keadaan masyarakat tersebut. Beberapa
kasus tersebut diantaranya adalah: kasus lumpur Lapindo di Porong, pencemaran
lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, konflik antara masyarakat Papua dengan
PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang
mengelola gas bumi di Arun.
Berdasarkan atas munculnya berbagai
aktivitas perusahaan yang tidak bertanggung jawab, sehingga mengakibatkan
kerusakan lingkungan hidup di sekitarnya dan terjadinya konflik dengan
masyarakat sekitarnya, maka pemerintah memberikan pengaturan mengenai tanggung
jawab sosial dan lingkungan perusahaan di dalam peraturan perundang-undangan
nasional.
Dengan diaturnya CSR di dalam
peraturan perundang-undangan, maka CSR kini menjadi tanggung jawab yang
bersifat legal dan wajib. Namun, dengan asumsi bahwa kalangan bisnis akhirnya
bisa menyepakati makna sosial yang terkandung di dalamnya, gagasan CSR
mengalami distorsi yang serius, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai sebuah tanggung jawab
sosial, dengan adanya pengaturan CSR, maka mengabaikan sejumlah prasyarat yang
memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yaitu sebagai pilihan sadar,
adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Dengan mewajibkan CSR, maka memberikan
batasan kepada ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat
mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik.
2. Dengan adanya kewajiban tersebut,
maka CSR bermakna parsial sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak
sosial dan lingkungan dari kehadiran sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk
program CSR
hanya terkait langsung dengan jenis usaha yang dijalankan perusahaan. Padahal praktek yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung, seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.
hanya terkait langsung dengan jenis usaha yang dijalankan perusahaan. Padahal praktek yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung, seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.
3. Tanggung jawab lingkungan
sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap subyek hukum, termasuk perusahaan.
Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk
ke wilayah urusan hukum. Setiap dampak pencemaran dan kehancuran ekologis
dikenakan tuntutan hukum, dan setiap perusahaan harus bertanggung jawab. Dengan
menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain
tanggung jawab sosial, hal ini cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan
sebagai kewajiban legal menjadi sekedar pilihan tanggung jawab sosial. Atau
bahkan lebih jauh lahi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung jawab suatu
perusahaan, yakni secara sosial (menurut UU PT) dan secara hukum (menurut UU
Lingkungan Hidup).
4. Dari sisi keterkaitan peran,
kewajiban yang digariskan UU PT menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan
penanggung jawab tunggal program CSR. Di sini, masyarakat seakan menjadi obyek
semata, sehingga hanya menyisakan budaya ketergantungan selepas program,
sementara negara menjadi mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas
pelanggaran.
Terlepas dari berbagai konflik yang
membayangi pengaturan mengenai CSR di dalam peraturan perundang-undangan
nasional, CSR merupakan suatu konsep yang penting untuk dilaksanakan oleh
perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan timbal balik yang
saling sinergis antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Perusahaan yang telah beroperasi di
suatu wilayah tertentu, memiliki kewajiban untuk tetap menjaga kelestarian
lingkungan tersebut, salah satunya dengan cara melakukan sistem pengolahan
limbah yang baik. Selanjutnya, perusahaan juga seharusnya turut berperan serta
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, antara dengan cara
pemberian pelatihan keterampilan dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat
tersebut.
Pada umumnya implementasi CSR di
perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Komitmen pimpinan perusahaan
Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan
masalah-masalah sosial dan lingkungan, kecil kemungkinan akan mempedulikan
aktivitas sosial.
2. Ukuran dan kematangan perusahaan
Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensi
memberikan kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. Namun, bukan
berarti perusahaan menengah, kecil, dan belum mapan tersebut tidak dapat
menerapkan CSR.
3. Regulasi dan sistem perpajakan
yang diatur pemerintah
Semakin meluasnya regulasi dan penataan pajak akan membuat
semakin kecil ketertarikan perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan
sosial kepada masyarakat. Sebaliknya, semakin kondusif regulasi atau semaikin
besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat
kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Di dalam prakteknya, penerapan CSR
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, kegiatan CSR sangat beragam. Hal ini bergantung pada proses
interaksi sosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika,
dan biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan
perundang-undangan.
Sebagai upaya untuk meningkatkan
pelaksanaan CSR di Indonesia, terdapat beberapa lembaga yang sangat memberikan
perhatian terhadap pelaksanaan CSR, yaitu: Indonesia Business Link (IBL),
Corporate Forum for Community Development (CFCD), dan Business
Watch Indonesia (BWI).
Dalam rangka menciptakan kemajuan
pelaksanaan konsep CSR, harus didukung oleh peranan pemerintah, baik sebagai
partisipan, convenor, atau fasilisator, dan sebagainya. Masyarakat juga dapat
turut serta mendukung konsep CSR, yaitu dengan cara memberikan informasi,
saran, dan masukan atau pendapat untuk menentukan program yang akan dilakukan.
Sebenarnya, jauh sebelum CSR diatur
di dalam UU PT dan UU PM, beberapa perusahaan telah dengan aktif melaksanakan
CSR, antara lain yaitu:
1. PT. Unilever Indonesia, Tbk.
Mengadakan program kali bersih Sungai Brantas;
2. PT. Avon Indonesia melakukan
sosialisasi pencegahan kanker payudara;
3. PT. HM. Sampoerna memberikan
beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa di berbagai sekolah dan perguruan tinggi,
baik negeri maupun swasta.
IV. Kesimpulan
Pengaturan mengenai CSR di dalam UU
PT dan UU PM masih perlu diperjelas dan disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan lainya, antara lain UU Lingkungan Hidup dan dengan instrumen
hukum internasional yang terkait, diantaranya ISO 26000. Hal ini dimaksudkan
untuk menghilangkan bias dalam pengertian dan standar pelaksanaan CSR. Selain
itu agar kalangan dunia usaha dapat melaksanakan SCR secara lebih maksimal,
sehingga tujuan dari penerapan CSR pada aspek-aspek sosial dan lingkungan dapat
semakin berhasil dan mendatangkan manfaat, baik bagi perusahaan, masyarakat,
lingkungan, dan negara.
Walaupun praktek CSR belum menjadi
perilaku yang umum, diharapkan dengan adanya pengaturan mengenai CSR di dalam
UU PT dan UU PM, dapat mendorong dunia usaha untuk melaksanakan CSR secara
lebih bertanggung jawab dan tidak memandang CSR sebagai suatu kewajiban yang
memberatkan.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah
yang mengatur mengenai pelaksanaan CSR secara lebih rinci, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 74 ayat (4) UU PT sebagai berikut:
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (
CSR )
CSR
adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan
harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan
sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para
strategicstakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah
kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau
tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas.
Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah
pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik,
tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang
sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu
pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan.
Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan
etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.1
Pemahaman Tentang CSR
Menilik
sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua puluh tahun
terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya
di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi,
demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak
etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.
Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi
mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.2
Hingga
dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada
1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan)
sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh
kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa
bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful
Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan
yang hanya mencetak keuntungan semata. Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat
Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati
perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth)
menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam
perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program
sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep
kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder.
Elemen
– elemen konsep keberlanjutan menjadi
penting, di antaranya adalah ;
(1)
ketersediaan dana,
(2)
misi lingkungan,
(3)
tanggung jawab sosial,
(4)
terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah),
(5)
mempunyai nilai keuntungan/manfaat.
Pertemuan
Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep
social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan
environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan
dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility).
Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang
dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan
itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku
bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility. Sesungguhnya
substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan
perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang
difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan
masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat
beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya,
baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan
seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip
keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam
mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan,
serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi,
ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian
dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh,
di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Dalam implementasi
program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan
mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masingmasing stakeholder agar
dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan
partisipasi aktif para stakeholder diharapkan pengambilan keputusan,
menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di
emban secara bersama. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi
dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu
nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya
(financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple
bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial
dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai
perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan
hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan
hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan
terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial,
ekonomi dan lingkungan hidupnya. Pada bulan September 2004, ISO (International
Organization for Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi
internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim
(working group) yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung
jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social
Responsibility. Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial
terletak pada pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan
suatu organisasi. Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio
Earth Summit on the Environment” tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable
Development (WSSD)” tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan. Pembentukan
ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO on Consumer
Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate Social
Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO mengenai
pembentukan “Strategic Advisory Group on Social Responsibility pada tahun 2002.
Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negaranegara berkembang,
selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP
diedarkan kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan
Januari 2005, dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam
hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate
Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini,
menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000 diperuntukan
bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta
maupun publik. ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela
mengenai tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua
sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun
negara maju. Dengan Iso 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap
aktivitas tanggung jawab social yang berkembang saat ini dengan cara:
1)
mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan
isunya;
2)
menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi
kegiatan-kegiatan yang efektif; dan
3)
memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk
kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.
Apabila
hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok ISO
26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara konsisten mengembangkan
tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 isu pokok yaitu:
1.
Pengembangan Masyarakat
2.
Konsumen
3.
Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4.
Lingkungan
5.
Ketenagakerjaan
6.
Hak asasi manusia
7.
Organizational Governance (governance organisasi)
ISO
26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi
atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan
lingkungan,
melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
1. Konsisten
dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
2. Memperhatikan
kepentingan dari para stakeholder;
3. Sesuai
hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
4. Terintegrasi
di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan,
produk maupun jasa.
Berdasarkan
konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya terintegrasi di
seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan demikian
jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya suatu perusahaan
sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih mengiklankan
penerimaan pegawai dengan menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai
dengan gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut
sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh. Contoh
lain, misalnya suatu perusahaan memberikan kepedulian terhadap pemasok
perusahaan yang tergolong industri kecil dengan mengeluarkan kebijakan pembayaran
transaksi yang lebih cepat kepada pemasok UKM. Secara logika produk atau jasa
tertentu yang dihasilkan UKM pada skala ekonomi tertentu akan lebih efisien jika
dilaksanakan oleh UKM. Namun UKM biasanya tidak memiliki arus kas yang kuat dan
jaminan yang memadai dalam melakukan pinjaman ke bank, sehingga jika perusahaan
membantu pemasok UKM tersebut, maka bisa dikatakan perusahaan tersebut telah
melaksanakan
bagian dari tanggung jawab sosialnya.
Prinsip-prinsip
dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai
atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab
sosial menurut ISO 26000 meliputi:
1. Kepatuhan
kepada hukum
2. Menghormati
instrumen/badan-badan internasional
3. Menghormati
stakeholders dan kepentingannya
4. Akuntabilitas
5. Transparansi
6. Perilaku
yang beretika
7. Melakukan
tindakan pencegahan
8. Menghormati
dasar-dasar hak asasi manusia
Ada
empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga tahun 2008,
diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006, penyusunan draf
ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 diperkirakan pada
bulan September 2008 dan seluruh tugas tersebut diperkirakan rampung pada
tahun
2009. Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal 15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320
orang dari 55 negara dan 26 organisasi internasional itu, telah disepakati
bahwa ISO 26000 ini hanya memuat panduan (guidelines) saja dan bukan pemenuhan
terhadap persyaratan karena ISO 26000 ini memang tidak dirancang sebagai
standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai standar sertifikasi
sebagaimana ISO-ISO lainnya. Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR
diberbagai negara menimbulkan adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses
pelaksanaan CSR itu sendiri di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu
pedoman umum dalam penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000
sebagai panduan (guideline) atau dijadikan rujukan utama dalam pembuatan
pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus
menjawab
tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia.
2.
Praktek-Praktek CSR
Penerapan
CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya,
yang
akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor,
pemasok,
dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung perusahaan
yang
dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang pasar dan
keunggulan
kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan
CSR
akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan
yang
meningkat.
Memang
saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan
praktik
CSR terhadap keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha
yang
bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi usaha,
karena
mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya yang
mengurangi
keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang sebagai
investasi
“jangka panjang”. Karena dengan melakukan praktek CSR yang berkelanjutan,
perusahaan
akan mendapat “tempat di hati dan ijin operasional” dari masyarakat,
bahkan
mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.3
Januari
2005, dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, melalui Global Governance
Initiative,
kalangan bisnis diajak memikirkan soal kemiskinan melalui praktik CSR. Pada
tanggal
8 – 9 September 2005 bertempat di Jakarta, Indonesia menjadi tuan rumah
AFCSR
(Asian Forum for Corporate Social Responsibility) yang memaparkan bagaimana
CSR
harus dipraktikkan oleh bisnis di Asia. Terakhir, World Business Council for
Sustainable
Development (WBCSD) menyatakan dalam sebuah side-event Pertemuan
PBB
New York (14-16/9), bahwa praktik CSR adalah wujud komitmen dunia bisnis untuk
membantu
PBB merealisasikan target Millennium Development Goals (MDGs).
Praktek
CSR di Manca Negara
Di
tingkat internasional, ada banyak prinsip yang mendukung praktik CSR di
banyak
sektor. Misalnya Equator Principles yang diadopsi oleh banyak lembaga
keuangan
internasional. Untuk menunjukkan bahwa bisnis mereka bertanggung jawab,
di
level internasional perusahaan sebenarnya bisa menerapkan berbagai standard CSR
seperti
:
AccountAbility’s
(AA1000) standard, yang berdasar pada prinsip “Triple Bottom
Line”
(Profit, People, Planet) yang digagas oleh John Elkington
Global
Reporting Initiative’s (GRI) – panduan pelaporan perusahaan untuk
mendukung
pembangunan berkesinambungan yang digagas oleh PBB lewat
Coalition
for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan UNEP pada
tahun
1997
Social
Accountability International’s SA8000 standard
ISO
14000 environmental management standard
Kemudian,
ISO 26000.4
Kesadaran
tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren global
seiring
dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produkproduk
yang
ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah
sosial
dan prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM). Bank-bank di Eropa menerapkan
kebijakan
dalam pemberian pinjaman hanya kepada perusahaan yang
mengimplementasikan
CSR dengan baik. Sebagai contoh, bank-bank Eropa hanya
memberikan
pinjaman pada perusahaan-perusahaan perkebunan di Asia apabila ada
jaminan
dari perusahaan tersebut, yakni ketika membuka lahan perkebunan tidak
dilakukan
dengan membakar hutan.
Tren
global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah
penerapan
indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah
mempraktikkan
CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones
Sustainability
Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki
nilai
corporate sustainability dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR.
Begitu
pula
London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index
dan
Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang memiliki FTSE4Good sejak 2001.
Inisiatif
ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock
Exchange
dan Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari adanya indeks-indeks
tersebut
memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang
hanya
akan menanamkan dananya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam
indeks.
Menghadapi
tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah
saatnya
setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan
lingkungan
dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan setiap
tahunnya
kepada stakeholdernya. Laporan bersifat non financial yang dapat digunakan
sebagai
acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan
lingkungannya.
Di
Uni Eropa pada tanggal 13 Maret 2007, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan
resolusi
berjudul “Corporate Social Responsibility: A new partnership” yang mendesak
Komisi
Eropa untuk meningkatkan kewajiban yang terkait dengan persoalan
akuntabilitas
perusahaan seperti tugas direktur (directors’ duties), kewajiban langsung
luar
negeri (foreign direct liabilities) dan pelaporan kinerja sosial dan lingkungan
perusahaan
(environmental and social reporting).
Banyak
pihak menyambut gembira perkembangan ini. Semakin lama semakin
disadari
bahwa walaupun perusahaan (sektor bisnis) selama ini sudah berkontribusi
sangat
positif terhadap pembangunan dunia, pada saat yang sama perusahaan harus
diminta
semakin bertanggung jawab. Karena, upaya memupuk laba cenderung (meski
tidak
selalu) mengabaikan tanggung jawab sosial.
Di
Inggris, sudah lama perusahaan diikat dengan kode etik usaha. Dan karena
sudah
ada banyak aturan dan undang-undang yang mengatur praktik bisnis di Inggris,
maka
tidak diperlukan UU khusus CSR. Sekedar diketahui, perusahaan di Inggris ini
tidak
lepas dari pengamatan publik (masyarakat dan negara) karena harus transparan
dalam
praktik bisnisnya. Publik bisa protes terbuka ke perusahaan jika perusahaan
merugikan
masyarakat/konsumen/buruh/lingkungan. Melihat perkembangan ini, tahun
lalu,
disahkan Companies Act 2006 yang mewajibkan perusahaan yang sudah tercatat di
bursa
efek untuk melaporkan bukan saja kinerja perusahaan (kinerja ekonomi dan
financial)
melainkan kinerja sosial dan lingkungan. Laporan ini harus terbuka untuk
diakses
publik dan dipertanyakan. Dengan demikian, perusahaan didesak agar semakin
bertanggung
jawab.
Mac
Oliver – EA Marshal (Company Law Handbook Series, 1991) berpendapat,
perusahaan
Amerika yang beroperasi di luar negeri diharuskan melaksanakan Sullivan
Principal
dalam rangka melaksanakan Corporate Social Responsibilty, yaitu:
Tidak
ada pemisahan ras (non separation of races) dalam makan, bantuan
hidup
dan fasilitas kerja.
Sama
dan adil dalam melaksanakan pekerjaan (equal and fair employment
process).
Pembayaran
upah yang sama untuk pekerjaan yang sebanding (equal payment
compansable
work).
Program
training untuk mempersiapkan kulit hitam dan non kulit putih lain
sebagai
supervisi, administrasi , klerk, teknisi dalam jumlah yang substansial.
Memperbanyak
kulit hitam dan non kulit putih lain dalam profesi manajemen
dan
supervisi.
Memperbaiki
tempat hidup pekerja di luar lingkungan kerja seperti perumahan,
transportasi,
kesehatan, sekolah dan rekreasi.5
Implementasi
CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk menjadi
contoh
penerapan CSR. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan
Amerika
Serikat telah mengadopsi code of conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan
hidup,
hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak asasi manusia (HAM). Berbasis
pada
aspek itu, mereka mengembangkan regulasi guna mengatur CSR. Australia,
misalnya,
mewajibkan perusahaan membuat laporan tahunan CSR dan mengatur
standardisasi
lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM. Sementara itu, Kanada
mengatur
CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial, proteksi lingkungan, dan
penyelesaian
masalah sosial.
Di
beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh
kesepakatan
atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam
aspek
sosial. Sementara aspek lingkungan--apalagi aspek ekonomi--memang jauh lebih
mudah
diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna
memastikan
kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi
perusahaan
dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau
laporan
keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan
metodologi
evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri yang sejenis).
Banyak
kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar "pemanis bibir"
(suatu
basa-basi),
misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan
juga
perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep
CSR
dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah
peningkatan
kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan
keberlanjutan
merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata
para
pemangku kepentingannya.
Praktek
CSR di Indonesia
Salah
satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan
di
Indonesia adalah community development. Perusahaan yang mengedepankan konsep
ini
akan lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas
masyarakat
sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal
sosial
perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluangpeluang
sosial-ekonomi
masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang
diinginkan,
cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan
peduli
lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki
perlahan-lahan
muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa
kehadiran
perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.
Kepedulian
kepada masyarakat sekitar komunitas dapat diartikan sangat luas,
namun
secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi
organisasi
di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama
bagi
organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di
mana
CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar
dengan
sungguh-sungguh memperhitungkan akibatnya terhadap seluruh pemangku
kepentingan(stakeholder)
perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini
mengharuskan
perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam
pemangku
kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang
merupakan
salah satu pemangku kepentingan internal.
Setidaknya
ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti
merespon
dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi
usahanya.
Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya
wajar
bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kedua, kalangan bisnis
dan
masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme.
Ketiga,
kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk meredam atau
bahkan
menghindari konflik sosial.
Program
yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam kaitannya dengan tanggung
jawab
sosial di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga bentuk, yaitu:
a.
Public Relations
Usaha
untuk menanamkan persepsi positif kepada komunitas tentang kegiatan
yang
dilakukan oleh perusahaan.
b.
Strategi defensif
Usaha
yang dilakukan perusahaan guna menangkis anggapan negatif komunitas
yang
sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan, dan biasanya untuk
melawan
‘serangan’ negatif dari anggapan komunitas. Usaha CSR yang dilakukan
adalah
untuk merubah anggapan yang berkembang sebelumnya dengan
menggantinya
dengan yang baru yang bersifat positif.
c.
Kegiatan yang berasal dari visi perusahaan
Melakukan
program untuk kebutuhan komunitas sekitar perusahaan atau
kegiatan
perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri.
Program
pengembangan masyarakat di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kategori
yaitu:
a.
Community Relation
Yaitu
kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui
komunikasi
dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini,
program
lebih cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan
(charity)
perusahaan.
b.
Community Services
Merupakan
pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat
atau
kepentingan umum. Inti dari kategori ini adalah memberikan kebutuhan
yang
ada di masyarakat dan pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat
sendiri
sedangkan perusahaan hanyalah sebagai fasilitator dari pemecahan
masalah
tersebut.
c.
Community Empowering
Adalah
program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih
luas
kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya, seperti pembentukan
usaha
industri kecil lainnya yang secara alami anggota masyarakat sudah
mempunyai
pranata pendukungnya dan perusahaan memberikan akses kepada
pranata
sosial yang ada tersebut agar dapat berlanjut. Dalam kategori ini,
sasaran
utama adalah kemandirian komunitas.
Dari
sisi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah
adanya
perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan
kualitas
sosial di daerah tersebut. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah
dalam
rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan
membangun
kerja sama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan
menyusun
program-program pengembangan masyarakat sekitarnya.
Pada
saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi perilaku yang umum,
namun
dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka
tuntutan
terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR semakin besar. Tidak menutup
kemungkinan
bahwa CSR menjadi kewajiban baru standar bisnis yang harus dipenuhi
seperti
layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada akhir tahun 2009 mendatang akan
diluncurkan
ISO 26000 on Social Responsibility, sehingga tuntutan dunia usaha menjadi
semakin
jelas akan pentingnya program CSR dijalankan oleh perusahaan apabila
menginginkan
keberlanjutan dari perusahaan tersebut.
CSR
akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam perusahaan untuk menjaga
atau
meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas)
atau
citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif
perusahaan
yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya
pertumbuhan
keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteriakriteria
berbasis
nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa
mendatang.
Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan
berkelanjutan.
Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan
semua
pihak (true win win situation) - konsumen mendapatkan produk unggul yang
ramah
lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya
akan
dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung.
Pelaksanaan
CSR di Indonesia sangat tergantung pada pimpinan puncak korporasi.
Artinya,
kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika
pimpinan
perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi, besar kemungkinan
korporasi
tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar. Sebaliknya, jika orientasi
pimpinannya
hanya berkiblat pada kepentingan kepuasan pemegang saham
(produktivitas
tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi,
boleh
jadi kebijakan CSR hanya sekadar kosmetik.
Sifat
CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya
penegakan
hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang
memang
memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting, Laporan Sosial
Tahunannya
tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana
program
pembangunan komunitas yang telah direalisasi. Sekali lagi untuk mencapai
keberhasilan
dalam melakukan program CSR, diperlukannya komitmen yang kuat,
partisipasi
aktif, serta ketulusan dari semua pihak yang peduli terhadap programprogram
CSR.
Program CSR menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk
bertanggung
jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa
datang.
3.
Kebutuhan akan Standarisasi CSR
Secara
singkat CSR dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan
yang
bersifat sukarela. CSR adalah konsep yang mendorong organisasi untuk memiliki
tanggung
jawab sosial secara seimbang kepada pelanggan, karyawan, masyarakat,
lingkungan,
dan seluruh stakeholder. Sedangkan program charity dan community
development
merupakan bagian dari pelaksanaan CSR.
Dalam
praktiknya, memang charity dan community development dikenal lebih
dahulu
terkait interaksi perusahaan dengan lingkungan sekitarnya. Serta, kebutuhan
perusahaan
untuk lebih dapat diterima masyarakat. Sementara itu, lebih jauh CSR
dapat
dimaknai sebagai komitmen dalam menjalankan bisnis dengan memperhatikan
aspek
sosial, norma-norma dan etika yang berlaku, bukan saja pada lingkungan sekitar,
tapi
juga pada lingkup internal dan eksternal yang lebih luas. Tidak hanya itu, CSR
dalam
jangka panjang memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan
dan meningkatnya kesejahteraan.6
Memang
ada pendekatan yang berbeda-beda terhadap ketentuan dan pelaksanaan
CSR.
Dari sisi pendekatan, misalnya, ada community based development project yang
lebih
mengedepankan pembangunan keterampilan dan kemampuan kelompok
masyarakat.
Ada pula yang fokus pada penyediaan kebutuhan sarana. Dan, yang paling
umum
adalah memberikan bantuan sosial secara langsung maupun tidak langsung guna
membantu
perbaikan kesejahteraan masyarakat, baik karena eksternalitas negatif yang
ditimbulkan
sendiri maupun yang bertujuan sebagai sumbangan sosial semata.
Trend
di Dunia
Dua
dekade terakhir ditandai dengan dinamika ekonomi yang memberi peran yang
besar
terhadap pasar saham. Dinamika ini, terutama terjadi di Amerika Serikat dan
Inggris
serta diikuti berbagai negara lainnya, ditandai dengan makin banyak korporasi
yang
memperoleh modal dari pasar saham. Turun naiknya harga saham mencerminkan
nilai
dari sebuah perusahaan. Makin tinggi harga saham, makin tinggi market value
dari
perusahaan
tersebut. Tidak heran, manajemen perusahaan lebih banyak mencurahkan
perhatian
pada usaha untuk memaksimalkan nilai saham yang dibeli oleh investor atau
shareholder
melalui pasar saham tadi. Strategi bisnis perusahaan, oleh karena itu,
seringkali
lebih mencerminkan dimensi jangka pendek dan terkadang mengabaikan
dampak
sosial dan lingkungan demi mewujudkan tujuan memaksimalkan shareholder
value
tersebut.7
Akibatnya,
muncul banyak debat tentang peran dan sepak terjang korporasi
terutama
dikaitkan dengan masalah kesenjangan global diatas. Debat ini berujung pada
tuntutan
bahwa perusahaan tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab social
karena
kegiatan mereka memiliki dampak tidak hanya dari dimensi ekonomi tetapi juga
sosial
dan lingkungan.
Tuntutan
ini tidak hanya muncul dari traditional stakeholder yang memiliki
keterkaitan
bisnis secara langsung – seperti supplier, customer, competitor maupun
regulator,
tetapi yang lebih penting lagi dari stakeholder lainnya yang
merepresentasikan
civil society seperti LSM, kelompok masyarakat lokal, serta aktivis
lingkungan
dan HAM. Stakeholder ini merasa prihatin dengan pengaruh korporasi yang
makin
besar dan luas. Malah dalam banyak kasus, pengaruh ini telah memasuki wilayah
politik
turut mempengaruhi kebijakan pemerintah dimana korporasi tersebut beroperasi.
Pengaruh
politik mereka ini seringkali membuat pemerintah melupakan tanggung jawab
dasarnya.
Pengaruh ini bahkan tercermin di dalam pemilihan umum dimana korporasi
ikut
membiayai kampanye politik. Tidak heran bila praktek ini telah menggeser
kontrak
sosial
dengan kontrak dengan perusahaan yang menyediakan dana kampanye dan,
pada
gilirannya, mendiktekan agenda kepada pemerintah yang berkuasa. Realitas ini
terjadi
di banyak negara di dunia baik di negeri maju maupun berkembang.
Perkembangan
CSR di mancanegara sudah demikian sangat populer. Di beberapa
negara
bahkan, CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah
perusahaan
dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan
perusahaan
yang bersangkutan. Para pendukung gagasan CSR, menggunakan teori
kontrak
sosial dan stakeholder approach untuk mendukung argumen mereka. Di bawah
teori
kontrak sosial, perusahaan ada karena ada persetujuan dari masyarakat
(corporations
exist, then, only by social permission). Konsekuensinya, perusahaan harus
melibatkan
masyarakat dalam melaksanakan operasinya bisnisnya.
Sementara
stakeholder approach berpandangan bahwa keberadaan perusahaan
bukan
semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan pemegang saham
(stockholders)
melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak lainnya (stakeholders)
termasuk
masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup jelas bahwa masyarakat
menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan begitu juga sebaliknya.
Sehingga
perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan di antara kedua belah
pihak.
Penelitian
terbaru yang dilakukan oleh Hill et. al (2007) memberikan gambaran
yang
mendukung pelaksanaan CSR sebagian bagian dari strategi bisnis perusahaan. Hill
et.
al melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa
dan
Asia yang melakukan praktik CSR lalu menghubungkannya dengan value
perusahaan
yang diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut.
Penelitian
mereka menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-varaibel lainnya
perusahan-perusahaan
yang melakukan CSR, pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak
mengalami
kenaikan nilai saham yang signifikan, namun, dalam jangka panjang (10
tahun),
perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami
kenaikan
nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaanperusahaan
yang
tidak melakukan praktik CSR.
Dari
penelitian tersebut bisa dilihat bahwa CSR dalam jangka pendek memang
tidak
memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR,
malahan
mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian,
dalam
jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen kuat di CSR, ternyata
kinerjanya
melampaui perusahan-perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap
CSR.
Pendeknya, CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam
jangka
panjang.
Yang
dapat dilakukan adalah mencoba untuk mengenali kerangka global dan
mencari
pendekatan mengenai prinsip-prinsip dasar yang dapat menjadi pedoman untuk
penerapan
CSR secara umum. Beberapa diantaranya adalah Menetapkan visi;
Memformulasikan
misi; Menetapkan tujuan; Menetapkan kebijakan; Merancang sruktur
organisasi;
Menyediakan SDM; Merancang program operasional; Membagi wilayah;
Mengelola
dana
Standardisasi
Pelaksanaan CSR di Indonesia
Pada
tahun 1990an para aktivis pembangunan melihat persoalan kemiskinan
sebagai
persoalan ketimpangan dalam sistem politik. Menurut pandangan mereka,
kelompok-kelompok
seperti komunitas lokal, masyarakat adat, dan buruh tidak
mempunyai
kesempatan untuk menentukan pembangunan macam apa yang
dibutuhkan.
Akibatnya, demikian menurut pandangan mereka, pembangunan sering
tidak
sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat tersebut dan sering timpang
dalam
pembagian keuntungan dan resiko.
Jalan
keluar yang diusulkan para aktivis pembangunan adalah merubah skema
pembangunan
menjadi memberi kemungkinan berbagai kelompok melindungi
kepentingannya.
Kata kuncinya transparansi, partisipasi, dan penguatan kelompok
lemah.
Pemerintah dan perusahaan dituntut membuat mekanisme untuk berkomunikasi
dengan
lebih banyak pihak dan memperhatikan kepentingan-kepentingan mereka.
Terakhir,
harus ada upaya penguatan kelompok masyarakat agar dapat berpartisipasi
dengan
benar. Ketiga kata kunci diatas pada akhirnya menjadi semacam prinsip yang
dianggap
seharusnya ada bagi organisasi apapun dalam masyarakat.
CSR
secara umum merupakan kontribusi menyeluruh dari dunia usaha terhadap
pembangunan
berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan
lingkungan
dari kegiatannya.
Sebagai
salah satu pendekatan sukarela yang berada pada tingkat beyond
compliance,
penerapan CSR saat ini berkembang pesat termasuk di Indonesia, sebagai
respon
dunia usaha yang melihat aspek lingkungan dan sosial sebagai peluang untuk
meningkatkan
daya saing serta sebagai bagian dari pengelolaan risiko, menuju
sustainability
(keberlanjutan) dari kegiatan usahanya.
Penerapan
kegiatan CSR di Indonesia baru dimulai pada awal tahun 2000,
walaupun
kegiatan dengan esensi dasar yang sama telah berjalan sejak tahun 1970-an,
dengan
tingkat yang bervariasi, mulai dari yang paling sederhana seperti donasi sampai
kepada
yang komprehensif seperti terintegrasi ke dalam strategi perusahaan dalam
mengoperasikan
usahanya. Belakangan melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang
Perseroan Terbatas, Pemerintah memasukkan pengaturan Tanggung Jawab
Sosial
dan Lingkungan kedalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Pada
dasarnya ada beberapa hal yang mendasari pemerintah mengambil kebijakan
pengaturan
tanggung jawab sosial dan lingkungan Pertama adalah keprihatinan
pemerintah
atas praktek korporasi yang mengabaikan aspek sosial lingkungan yang
mengakibatkan
kerugian di pihak masyarakat. Kedua adalah sebagai wujud upaya
entitas
negara dalam penentuan standard aktivitas sosial lingkungan yang sesuai
dengan
konteks nasional maupun lokal.
Menurut
Endro Sampurno pemahaman yang dimiliki pemerintah mempunyai
kecenderungan
memaknai CSR semata-mata hanya karena peluang sumberdaya
finansial
yang dapat segera dicurahkan perusahaan untuk memenuhi kewajiban atas
regulasi
yang berlaku. Memahami CSR hanya sebatas sumber daya finansial tentunya
akan
mereduksi arti CSR itu sendiri.
Akibat
kebijakan tersebut aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan akan
menjadi
tanggung jawab legal yang mengabaikan sejumlah prasyarat yang
memungkinkan
terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yakni sebagai pilihan sadar,
adanya
kebebasan, dan kemauan bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas
memberangus
sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat
mengukur
derajat pemaknaannya dalam praktik. Konsekuensi selanjutnya adalah CSR
akan
bermakna sebatas upaya pencegahan dan dampak negatif keberadaan perusahaan
di
lingkungan sekitarnya (bergantung pada core business-nya masing-masing) padahal
melihat
perkembangan aktivitas CSR di Indonesia semakin memperlihatkan semakin
sinergisnya
program CSR dengan beberapa tujuan pemerintah. Terakhir yang mungkin
terjadi
adalah aktivitas CSR dengan regulasi seperti itu akan mengarahkan program
pada
formalitas pemenuhan kewajiban dan terkesan basa-basi.8
Keluhan
hubungan yang tidak harmonis antara perusahaan dan pemangku
kepentingannya
sesungguhnya sudah terdengar setidaknya dalam dua dekade
belakangan.
Gerakan sosial Indonesia, khususnya gerakan buruh dan lingkungan, telah
menunjuk
dengan tepat adanya masalah itu sejak dulu. Namun, tanggapan positif
terhadapnya
memang baru terjadi belakangan. Di masa lampau, hampir selalu keluhan
pada
kinerja sosial dan lingkungan perusahaan akan membuat mereka yang
menyatakannya
berhadapan dengan aparat keamanan. Walaupun kini hal tersebut
belum
menghilang sepenuhnya, tanggapan positif atas keluhan telah lebih banyak
terdengar.
Kiranya,
disinsentif untuk perusahaan yang berkinerja buruk kini telah banyak
tersedia.
Gerakan sosial kita tidak kurang memberikan tekanan kepada perusahaan
berkinerja
buruk. Payahnya, banyak perusahaan juga yang mulai menyadari pentingnya
meningkatkan
kinerja sosial dan lingkungan ternyata tidak mendapatkan insentif yang
memadai
dari berbagai pemangku kepentingan. Bahkan mereka yang secara
fundamental
hendak berubah malah menjadi sasaran tembak. Karena dianggap
"melunak",
perusahaan tersebut kerap dianggap sebagai sumber uang yang bisa diambil
kapan
saja melalui berbagai cara.9
Di
antara berbagai pemangku kepentingan itu terdapat pemerintah. Selain
berbagai
perangkat yang diciptakan di tingkat pusat, beberapa pemerintah kabupaten
telah
membuat berbagai macam forum CSR. Regulasi hubungan industrial juga telah
dibuat
di beberapa provinsi. Di satu sisi, perkembangan ini cukup menggembirakan
karena
menunjukkan tumbuhnya pemahaman pemerintah atas potensi kemitraan
pembangunan
dengan perusahaan. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa
pemerintah
sedang memindahkan beban pembangunannya ke perusahaan. Berbagai
regulasi
yang dibuat telah juga menjadi tambahan beban baru bagi perusahaan, alih-alih
menjadi
insentif bagi mereka yang hendak meningkatkan kinerja CSR-nya.
Secara
teoretis telah diungkapkan banyak pakar bahwa pemerintah seharusnya
menciptakan
prakondisi yang memadai agar perusahaan dapat beroperasi dengan
kepastian
hukum yang tinggi. Dalam hal ini, berbagai regulasi yang ada tidak hanya
berfungsi
memberikan batasan kinerja minimal bagi perusahaan, tapi juga memberikan
perlindungan
penuh bagi mereka yang telah mencapainya. Di luar itu, pemerintah bisa
pula
membantu perusahaan yang sedang berupaya melampaui standar minimal dengan
berbagai
cara. Di antaranya dengan memberikan legitimasi, menjadi penghubung yang
jujur
dengan pemangku kepentingan lain, meningkatkan kepedulian pihak lain atas
upaya
yang sedang dijalankan perusahaan, serta mencurahkan sumber dayanya untuk
bersama-sama
mencapai tujuan keberlanjutan.
Mengingat
CSR sulit terlihat dengan kasat mata, maka tidak mudah untuk
melakukan
pengukuran tingkat keberhasilan yang dicapai. Oleh karena itu diperlukan
berbagai
pendekatan untuk menjadikannya kuantitatif dengan menggunakan
pendekatan
Triple Bottom Line atau Sustainability Reporting. Dari sisi ekonomi,
penggunaan
sumber daya alam dapat dihitung dengan akuntansi sumber daya alam,
sedangkan
pengeluaran dan penghematan biaya lingkungan dapat dihitung dengan
menggunakan
akuntansi lingkungan.10
Terdapat
dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR, yaitu
bersifat
dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan (internal
drivers).
Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya regulasi, hukum, dan
diwajibkannya
analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Pemerintah melalui
Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) telah memberlakukan audit Proper (Program
penilaian
peningkatan kinerja perusahaan). Pendorong dari dalam perusahaan terutama
bersumber
dari perilaku manajemen dan pemilik perusahaan (stakeholders), termasuk
tingkat
kepedulian/tanggung jawab perusahaan untuk membangun masyarakat sekitar
(community
development responsibility).
Ada
empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan
mengimplementasikan
CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan
berkelanjutan
dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat
luas.
Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal).
Ketiga,
perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources)
yang
berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan
pada
hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan
manajemen
risiko (risk management).11
Isu
sosial yang mempengaruhi sebuah perusahaan terbagi dalam tiga kategori.
Pertama,
isu sosial generik, yakni isu sosial yang tidak dipengaruhi secara signifikan
oleh
operasi
perusahaan dan tidak mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk
berkompetisi
dalam jangka panjang. Kedua, dampak sosial value chain, yakni isu sosial
yang
secara signifikan dipengaruhi oleh aktivitas normal perusahaan. Ketiga, dimensi
sosial
dari konteks kompetitif, yakni isu sosial di lingkungan eksternal perusahaan
yang
secara
signifikan mempengaruhi kemampuan berkompetisi perusahaan.
Isu
sosial yang mempengaruhi sebuah perusahaan terbagi dalam tiga kategori.
Pertama,
isu sosial generik, yakni isu sosial yang tidak dipengaruhi secara signifikan
oleh
operasi
perusahaan dan tidak mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk
berkompetisi
dalam jangka panjang. Kedua, dampak sosial value chain, yakni isu sosial
yang
secara signifikan dipengaruhi oleh aktivitas normal perusahaan. Ketiga, dimensi
sosial
dari konteks kompetitif, yakni isu sosial di lingkungan eksternal perusahaan
yang
secara
signifikan mempengaruhi kemampuan berkompetisi perusahaan.
Setiap
perusahaan perlu mengklasifikasikan isu sosial ke dalam tiga kategori
tersebut
untuk setiap unit bisnis dan lokasi utama, kemudian menyusunnya berdasarkan
11
Muhammad Arief Effendi, “Implementasi GCG Melalui CSR”, 7 November 2007,
diakses dari
muhariefeffendi.wordpress.com
22/36
dampak
potensial. Isu sosial yang sama bisa masuk dalam kategori yang berbeda,
tergantung
unit bisnis, industri, dan tempatnya.
Ketegangan
yang sering terjadi antara sebuah perusahaan dan komunitas atau
masyarakat
di sekitar perusahaan berlokasi umumnya muncul lantaran terabaikannya
komitmen
dan pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut. Perubahan orientasi sosial
politik
di tanah air dapat memunculkan kembali apresiasi rakyat yang terbagi-bagi dalam
wilayah
administratif dalam upaya menciptakan kembali akses mereka terhadap sumber
daya
yang ada di wilayahnya.
Seringkali
kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan
masyarakat.
Sesungguhnya perusahaan dan masyarakat memiliki saling ketergantungan
yang
tinggi. Saling ketergantungan antara perusahaan dan masyarakat berimplikasi
bahwa
baik keputusan bisnis dan kebijakan sosial harus mengikuti prinsip berbagi
keuntungan,
yaitu pilihan-pilihan harus menguntungkan kedua belah pihak.
Saling
ketergantungan antara sebuah perusahaan dengan masyarakat memiliki
dua
bentuk. Pertama, inside-out linkages, bahwa perusahaan memiliki dampak terhadap
masyarakat
melalui operasi bisnisnya secara normal. Dalam hal ini perusahaan perlu
memerhatikan
dampak dari semua aktivitas produksinya, aktivitas pengembangan
sumber
daya manusia, pemasaran, penjualan, logistik, dan aktivitas lainnya.
Kedua,
outside-in-linkages, di mana kondisi sosial eksternal juga memengaruhi
perusahaan,
menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ini meliputi kuantitas dan kualitas
input
bisnis yang tersedia-sumber daya manusia, infrastruktur transportasi; peraturan
dan
insentif yang mengatur kompetisi-seperti kebijakan yang melindungi hak kekayaan
intelektual,
menjamin transparansi, mencegah korupsi, dan mendorong investasi; besar
dan
kompleksitas permintaan daerah setempat; ketersediaan industri pendukung di
daerah
setempat, seperti penyedia jasa dan produsen mesin.12
Etika
sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing
dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct)
yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu
harus
disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok
yang
terkait lainnya.
Secara
umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya
tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini
sangat
erat
terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Prinsip
etika
bisnis itu sendiri adalah:
Prinsip
otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil
keputusan
dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang
dianggapnya
baik untuk dilakukan.
Prinsip
kejujuran.
Prinsip
keadilan.
Prinsip
saling menguntungkan (mutual benefit principle).
Prinsip
integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri
pelaku
bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap
menjaga
nama baik pimpinan/orang-orangnya maupun perusahaannya.
Bagi
masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya
perusahaan
di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kualitas
sosial
di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan mendapatkan perlindungan
akan
hak-haknya sebagai pekerja. Jika ada masyarakat adat/masyarakat lokal, praktek
CSR
akan menghargai keberadaan tradisi dan budaya lokal tersebut.
Agar
efektif CSR memerlukan peran civil society yang aktif. Setidaknya terdapat
tiga
wilayah dimana masyarakat dapat menunjukkan perannya yaitu:
a.
Kampanye melawan korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak sejalan
dengan
prinsip CSR lewat berbagai aktivitas lobby dan advokasi.
b.
Mengembangkan kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan membangun
institusi
yang terkait dengan CSR
c.
Mengembangkan inisiatif multi-stakeholder yang melibatkan berbagai elemen
dari
masyarakat, korporasi dan pemerintah untuk mempromosikan dan
meningkatkan
kualitas penerapan CSR
4.
Pelaksanaan CSR: Kewajiban Versus Sukarela
CSR
adalah komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk
berperilaku
secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya
meningkatkan
kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal
dan
masyarakat luas pada umumnya (CSR: Meeting Changing Expectations, 1999).
Ada
enam kecenderungan utama, yang semakin menegaskan arti penting CSR.
Yaitu:
meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin; posisi negara yang semakin
berjarak
pada rakyatnya; makin mengemukanya arti kesinambungan; makin gencarnya
sorotan
kritis dan resistensi dari publik, bahkan yang bersifat anti-perusahaan; tren
ke
arah
transparansi; dan harapan-harapan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik
dan
manusiawi pada era milenium baru.
Pemerintah
juga dapat melakukan banyak aktivitas nonregulatori yang mendorong
CSR
seperti koordinasi kebijakan mengenai CSR antardepartemen, meningkatkan profil
CSR
sehingga makin banyak perusahaan tertarik, membiayai penelitian-penelitian
tentang
CSR, mempromosikan CSR pada UKM, serta menciptakan insentif untuk
perusahaan-perusahaan
yang memiliki kinerja CSR yang baik—selain memberi
disinsentif
bagi mereka yang berkinerja buruk. Terakhir, pemerintah dapat
mendemonstrasikan
praktik-praktik terbaik CSR, sebagai sarana perusahaan-perusahaan
untuk
belajar bagaimana kinerja terbaik itu bisa dicapai.
Penerapan
CSR di Manca Negara
Belajar
dari pengalaman negara-negara lain, tidak ada satupun negara yang
dengan
presisi mencantumkan persentase atau jumlah yang harus dikeluarkan untuk
investasi
sosial perusahaan. Akan sangat mustahil menemukan negara yang berbuat
demikian,
karena yang banyak dikembangkan oleh negara-negara maju adalah sistem
insentif
yang mendorong perusahaan melakukan investasi sosial sebagai bagian dari
strategi
welfare mix (kesejahteraan sebagai tanggung jawab bersama). Di Amerika
Serikat
misalnya, dengan pertimbangan penguatan kelompok-kelompok masyarakat
sipil,
maka perusahaan yang menyumbang kepada kelompok yang masuk dalam
kategori
501(c)3, akan mendapatkan pemotongan pajak.
Pendekatan
masing-masing pemerintah di Eropa, misalnya, berbeda-beda, namun
tidak
satupun di antara mereka yang meregulasi dana CSR. Pemerintah Perancis
mengharuskan
perusahaan untuk melaporkan secara mendetail dampak mereka dalam
aspek
sosial dan lingkungan. Pemerintah Belgia menyediakan label khusus bagi
perusahaan
yang dalam praktiknya sepanjang rantai produksi telah benar-benar sesuai
dengan
delapan konvensi ILO. Pemerintah Denmark mengembangkan Danish Social
Index
dan melakukan pengukuran langsung atas kinerja perusahaan dalam kebijakan
mengenai
pekerja dan fakta kondisi kerja. Sementara CSR-SC yang dibentuk Pemerintah
Italia
mengembangkan petunjuk yang dapat dipergunakan oleh perusahaan untuk
melakukan
penilaian diri, pengukuran, pelaporan, serta penjaminan kebenaran isi
laporan.
Jalan
yang ditempuh oleh Kementerian CSR Inggris—yang mirip dengan apa yang
dilakukan
Pemerintah Perancis—sangat menarik untuk dicoba, yaitu dengan mewajibkan
pelaporan
tahunan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan selain kinerja finansial
yang
memang sudah biasa dilakukan. Dengan upaya pemerintah yang mendorong
transparensi
kinerja ini, maka mau tidak mau perusahaan kemudian harus
meningkatkan
kinerjanya karena iklim persaingan usaha yang ketat akan memberikan
disinsentif
bagi mereka yang memiliki kelemahan dalam kinerja CSR. Regulasi yang
dibuat
juga memberikan kewenangan penuh bagi Pemerintah untuk mengecek
kebenaran
laporan, dan tentu saja mengatur apa konsekuensi kebohongan terhadap
publik
yang dilakukan perusahaan dalam laporannya.
Tidak
heran, CSR telah menjadi isu bisnis yang terus menguat. Isu ini sering
diperdebatkan
dengan pendekatan nilai-nilai etika, dan memberi tekanan yang semakin
besar
pada kalangan bisnis untuk berperan dalam masalah-masalah sosial, yang akan
terus
tumbuh. Isu CSR sendiri juga sering diangkat oleh kalangan bisnis, manakala
pemerintahan
di berbagai negara telah gagal menawarkan solusi terhadap berbagai
masalah
kemasyarakatan.
Pelaksanaan
CSR di Indonesia
Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan
DPR
tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat
ayat
dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang
sumber
daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Pasal
74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan muncul pada saat
pembahasan
ditingkat Panja dan Pansus DPR. Pada konsep awal yang diajukan
pemerintah,
tidak ada pengaturan seperti itu. Saat dengar pendapat dengan Kadin dan
para
pemangku kepentingan lain, materi pasal 74 ini pun belum ada. Lalu sekitar 28
asosiasi
pengusaha termasuk Kadin dan Apindo, keberatan terhadap RUU PT. Mereka
meminta
pemerintah dan DPR membatalkan pengaturan tentang kewajiban tanggung
jawab
sosial dan lingkungan dalam RUU PT. Substansi dalam ketentuan pasal 74
Undang-Undang
nomor 40 tentang Perseroan Terbatas mengandung makna,
mewajibkan
tanggung jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan
perundangan
terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan
kewajiban
melaporkannya. Mengikuti perkembangan berita di media massa yang
menyangkut
pembahasan pasal 74, sesungguhnya rumusan itu sudah mengalami
penghalusan
cukup lumayan lantaran kritikan keras para pelaku usaha. Tadinya,
tanggung
jawab sosial dan lingkungan tidak hanya berlaku untuk perusahaan yang
bergerak
di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi berlaku untuk
semua
perusahaan, tidak terkecuali perusahaan skala UKM, baru berdiri, atau masih
dalam
kondisi merugi.
Ternyata
lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan yang
dimaksud
pasal 74 UU PT berbeda dengan lingkup dan pengertian CSR dalam pustaka
maupun
definisi resmi yang dikeluarkan oleh lembaga internasional (The World Bank,
ISO
26000 dan sebagainya) serta praktek yang telah berjalan di tanah air maupun
yang
berlaku
secara internasional.
Lalu
sebenarnya seperti apa best practice mengenai CSR ini? Saat ini ISO
(International
Organization for Standardization), tengah menggodok konsep standar CSR
yang
diperkirakan rampung pada akhir 2009. Standar itu dikenal dengan nama ISO
26000
Guidance on Social Responsibility. Dengan standar ini, pada akhir 2009 hanya
akan
dikenal satu konsep CSR. Selama ini dikenal banyak konsep mengenai CSR yang
digunakan
oleh berbagai lembaga internasional dan para pakar.
Pada
dasarnya kegiatan CSR sangat beragam bergantung pada proses interaksi
sosial,
bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya
melebihi
dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan. Oleh
karena
itu, didalam praktek, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing
perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya terlebih dahulu
dirumuskan
bersama antara 3 pilar yakni dunia usaha, pemerintah dan masyarakat
setempat
dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh masing-masing perusahaan. Dengan
demikian
adalah tidak mungkin untuk mengukur pelaksanaan CSR.
Selain
itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance
yang
mestinya didorong melalui pendekatan etika maupun pendekatan pasar (insentif).
Pendekatan
regulasi sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan
fairness
dalam kaitan untuk menyamakan level of playing field pelaku ekonomi. Sebagai
contoh,
UU dapat mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, bukan hanya aspek
keuangan,
tetapi yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan GCG.
Seringkali
kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan
masyarakat.
Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya perusahaan dan
masyarakat
memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan antara
perusahaan
dan masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan
sosial
harus mengikuti prinsip berbagi manfaat (shared value), yaitu pilihan-pilihan
harus
meberi
manfaat kedua belah pihak.
Lebih
menarik lagi ternyata terdapat inkonsistensi antara pasal 1 dengan pasal 74
serta
penjelasan pasal 74 itu sendiri. Pada pasal 1 Undang-Undang nomor 40 Tahun
2007
tentang Perseroan Terbatas memuat “… komitmen Perseroan Terbatas untuk
berperan
serta”, sedangkan pasal 74 ayat 1 “… wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial
dan Lingkungan”. Pada pasal 1 mengandung makna pelaksanaan CSR bersifat
sukarela
sebagai kesadaran masing-masing perusahaan atau tuntutan masyarakat.
Sedangkan
pasal 74 ayat 1 bermakna suatu kewajiban. Lebih jauh lagi kewajiban TJSL
pada
pasal 74 ayat 1 tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sanksinya pada pasal
74
ayat 3. Sanksi apabila tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
tidak
diatur dalam UU PT tetapi digantungkan kepada peraturan perundang-undangan
lain
yang terkait.
Demikian
juga pada pasal 74 tersirat bahwa PT yang terkena tanggung jawab
sosial
dan lingkungan, dibatasi namun dalam penjelasannya dapat diketahui bahwa
semua
perseroan terkena kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena
penjelasan
pasal 74 menggunakan penafsiran yang luas. Hal ini dapat dilihat pada bunyi
pasal
74 ayat 1 dimana perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang
dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab
sosial
dan lingkungan, sedangkan pada penjelasan pasal 74 menyatakan bahwa yang
dimaksud
dengan perseroan yang menjalankan kegitan usahanya di bidang sumber
daya
alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan
sumber
daya alam. Berikutnya yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan
usahanya
berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola
dan
tidak memanfaatkan sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi
sumber daya alam. Dengan demikian jelas tidak ada satupun perseroan terbatas
yang
tidak berkaitan atau tidak memanfaatkan sumber daya alam.
Kritik
yang muncul dari kalangan pebisnis bahwa CSR adalah konsep dimana
perusahaan,
sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan itu adalah diluar
kewajiban
perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan
formal,
seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup.
Mereka
berpendapat, jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga
akan
memberi beban baru kepada dunia usaha.
CSR
adalah konsep yang terus berkembang baik dari sudut pendekatan elemen
maupun
penerapannya. CSR sebenarnya merupakan proses interaksi sosial antara
perusahaan
dan masyarakatnya. Perusahaan melakukan CSR bisa karena tuntutan
komunitas
atau karena pertimbangannya sendiri. Bidangnya pun amat beragam ada
pada
kondisi yang berbeda-beda.
Proses
regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu memenuhi pembuatan
peraturan
yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu,
harus
dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas
birokrasi
dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan
penilaian
standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk
kepercayaan
pada pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah
kesejahteraan
umum. Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku
kepentingan,
seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak,
dan
organisasi pelaksana.
Semua
proses ini tidak mudah. Itu sebabnya di negara-negara Eropa yang secara
institusional
jauh lebih matang dari pada Indonesia, proses regulasi yang menyangkut
kewajiban
perusahaan berjalan lama dan hati-hati. European Union sebagai kumpulan
negara
yang paling menaruh perhatian terhadap CSR, telah menyatakan sikapnya, CSR
bukan
sesuatu yang akan diatur.14
Dengan
diatur dalam suatu UU, CSR kini menjadi tanggung jawab legal dan
bersifat
wajib. Namun, dengan asumsi bahwa akhirnya kalangan bisnis bisa
menyepakatinya
makna sosial yang terkandung didalamnya, gagasan CSR mengalami
distorsi
serius. Pertama, sebagai sebuah tanggung jawab sosial, UU ini telah
mengabaikan
sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR
tersebut,
yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak.
Mewajibkan
CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan
yang
ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam
praktik.
Dalam
ranah norma kehidupan modern, kita dilingkupi dengan sejumlah norma
yakni
norma hukum, moral, dan sosial. Tanpa mengabaikan kewajiban dan
pertanggungjawaban
hukumnya, pada domain lain perusahaan juga terikat pada norma
sosial
sebagai bagian integral kehidupan masyarakat setempat. Konsep asli CSR
sesungguhnya
bergerak dalam kerangka ini, di mana perusahaan secara sadar
memaknai
aneka prasyarat tadi dan masyarakat sekaligus bisa menakar komitmen
pelaksanaannya.
Kedua,
dengan kewajiban itu, konsekuensinya, CSR bermakna parsial sebatas
upaya
pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari kehadiran
sebuah
perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR hanya terkait langsung
dengan
core business perusahaan, sebatas jangkauan masyarakat sekitar. Padahal
praktik
yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial
dan
lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup
dan
tak langsung (bukan core business) seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa.
Kewajiban
tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.
Ketiga,
tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap
subyek
hukum, termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas
usahanya,
hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum. Setiap dampak pencemaran
dan
kehancuran ekologis dikenakan tuntutan hukum, dan setiap perusahaan harus
bertanggung
jawab. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi
lingkungan
dalam domain tanggung jawab sosial, hal ini cenderung mereduksi makna
keselamatan
lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekadar pilihan tanggung
jawab
sosial. Atau bahkan lebih jauh lagi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung
jawab
suatu perusahaan, yakni secara sosial (menurut UU PT) dan secara hukum (UU
lingkungan
hidup).
Keempat,
dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT
menempatkan
perusahaan sebagai pelaku dan penangung jawab tunggal program CSR.
Di
sini masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga hanya menyisakan budaya
ketergantungan
selepas program, sementara negara menjadi mandor pengawas yang
siap
memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi.15
Tanggung
jawab perusahaan yang tinggi sangat diperlukan karena dengan
mewajibkan
perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk usaha sosial
kemasyarakatan
diharapkan dapat ikut memberdayakan masyakarat secara sosial dan
ekonomi.
Namun pewajiban dalam suatu Undang-undang dapat memunculkan multi
tafsir
yang menyebabkan tujuan menjadi tidak tercapai. Di antara permasalahan yang
harus
ditegaskan adalah perusahaan apa saja yang wajib melaksanakan tanggung
jawab
sosial, sanksi apa saja yang mungkin dapat dikenakan apabila tidak
melaksanakan
kewajiban tersebut, sistem pelaporan dan standar kegiatan yang
termasuk
dalam kategori kegiatan tanggung jawab sosia
Pewajiban
tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada perusahaan tidaklah
tepat.
Hal ini karena:
Pemerintah
telah mengatur tentang LH, Perlindungan Konsumen, Hak Asasi
Manusia,
Perburuhan dan sebagainya pada masing-masing UU tersebut, tetapi
bukan
mengatur CSR pada UUPT.
Kegiatan
CSR sangat beragam, bergantung pada interaksi 3 pilar (Dunia Usaha,
Pemerintah
dan Masyarakat), berkaitan dengan 7 masalah pokok, melebihi
kewajiban
dari peraturan perundang-undangan, dan bersifat sukarela didasarkan
pada
dorongan moral dan etika.
Kegiatan
usaha pengelolaan sumber daya alam hampir mayoritas dilakukan oleh
perusahaan
bukan berbadan hukum Indonesia.
Pemerintah
& masyarakat sebaiknya bermitra di dalam menangani masalah
sosial,
dengan memanfaatkan program CSR yang dilakukan oleh Dunia Usaha.
Persoalan
berikutnya, seberapa jauh CSR berdampak positif bagi masyarakat, amat
tergantung
dari orientasi dan kapasitas lembaga lain, terutama Pemerintah. Berbagai
studi
menunjukkan, keberhasilan program CSR selama ini justru terkait dengan
sinergitas
kerja sama perusahaan, masyarakat, dan pemerintah. Segitiga peran itu
memungkinkan
integrasi kepentingan atau program semua stakeholders pembangunan.
Bahkan
tidak jarang CSR menjadi semacam titik temu antara wilayah isu yang menjadi
perhatian
perusahaan, kepentingan riil masyarakat setempat, dan program pemda
dalam
kerangka pembangunan regional. Untuk Indonesia, pelaksanaan CSR
membutuhkan
dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban
sosial.
Pemerintah
dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di
tengah
situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan
yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai
koordinator
penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang
penanganan
yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten.
Setelah
itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan
pada
kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat
mengawasi
proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar
terjadi
proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi satu pihak
terhadap yang lain. Peran terakhir ini amat
diperlukan, terut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar